Laki-laki uzur itu bernama Muhammad Sukemi (86), biasa dipanggil Mbah Kemi. Sebatang kara, Mbah Kemi tinggal di sebuah gubuk bambu berukuran 4×4 m2 di dusun Kembang Kuning, Windusari, Magelang, Jawa Tengah. Gubuk itu dibuatkan warga di jalur hijau jalan desa, beratap genting berdinding bilik.

“Saya sampai di sini karena ikut Jepang membuat jalan. Rumah dan pekarangan di kampung halaman sudah dijual,” kenang Mbah Kemi. Dia bertutur, sudah tiga puluh tahun lebih istrinya hijrah ke Kalimantan , mengikuti putri semata wayang mengadu peruntungan di rantau. “Alamatnya tidak jelas, tapi saya dengar kabar, istri saya sudah meninggal lima tahun lalu,” tutur jompo yang masih segar-bugar itu. Jadilah Mbah Kemi sebatang kara. Untuk mengisi hari, Mbah Kemi rajin mengikuti pengajian walau harus berjalan kaki puluhan kilometer ke tetangga desa. Selain getol menyerap ilmu agama, snack pengajian dibawanya pulang untuk mengganjal perut. Satu kardus snack bisa mengganjal lapar sampai tiga hari. Simbah pecandu kitab kuning. Aneka kitab klasik menjadi koleksi pribadinya. “Kalau ada yang ngasih sedekah, saya selalu tabung untuk beli kitab,” tutur Mbah Kemi. Simbah percaya, menuntut ilmu wajib bagi Muslim, “dari mbrojot (lahir) sampai mati, harus terus ngaji,” kata dia menyitir sebuah hadits.
Jadi, dalam kesahajaan hidup, tak ada kekhawatiran singgah di hati. Hari-harinya penuh kebahagiaan dan semangat mengaji yang meluap-luap. Urusan perut sama sekali bukan prioritas Mbah Kemi. Sepiring nasi pemberian Bu Carik, dimakannya sedikit demi sedikit berlauk sepotong gorengan. Nasi itu bertahan empat hari, dirubung lalat, lumer, dan bau asam menyengat. Tapi di lidah Simbah, rizki selalu nikmat. Dan dia tidak pernah sakit perut karenanya.
Di gubugnya yang sempit, Mbah Kemi mesti berbagi ruang dengan seorang pria jompo kurang waras yang tak jelas asal-usulnya. “Rumah”nya pun disekat bilik yang saban malam bilah-bilah bambunya kerap dilolosi Mbah Suhli, kakek majnun itu untuk membuat unggun, berdiang mengusir dingin. Selain si Kakek Majnun, Mbah Kemi mesti berbagi ruang dengan seekor ayam betina yang sedang mengeram dan dua ekor kambing jawa. “Dulu saya dikasih uang, tak tabung lalu dibelikan ayam dan marmut (sejenis hamster) sepasang. Marmutnya beranak 23 ekor, jantannya cuma satu. Cucunya tidak kehitung banyaknya, kalau saya jalan sampai harus menyingkirkan marmut-marmut itu dari lantai biar tidak terinjak,”celoteh Mbah Kemi.Marmut dan ayam lalu dijual, dibelikan dua ekor anak kambing. “Nanti kalau saya mati, kambingnya biar dipotong orang-orang buat mereka yang ngurusi jenasah saya,” Mbah Kemi mengutarakan niatnya. Tapi karena ditunggu tunggu maut tak kunjung menjemput, Simbah mengubah niat, “Kambingnya sudah besar, sebentar lagi Iedul Adha, jadi nanti dipotong buat kurban saja.” Sebenarnya Simbah ingin pergi haji, “Kalau tidak bisa ke Mekah, ya motong hewan kurban saja dulu.” Subhanallah!
Berkurban bukan hak eksklusif orang kaya saja, tetapi disunnahkan bagi muslim yang mampu.
Hadits Nabi, “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih kurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At-Tirmidzi).
Ternyata, tolok ukur kemampuan bukan hanya kelimpahan materi.
Source : (kisah nyata ini dimuat di Koran Tempo, 17 November 2009)
Image : Wasahati

“Saya sampai di sini karena ikut Jepang membuat jalan. Rumah dan pekarangan di kampung halaman sudah dijual,” kenang Mbah Kemi. Dia bertutur, sudah tiga puluh tahun lebih istrinya hijrah ke Kalimantan , mengikuti putri semata wayang mengadu peruntungan di rantau. “Alamatnya tidak jelas, tapi saya dengar kabar, istri saya sudah meninggal lima tahun lalu,” tutur jompo yang masih segar-bugar itu. Jadilah Mbah Kemi sebatang kara. Untuk mengisi hari, Mbah Kemi rajin mengikuti pengajian walau harus berjalan kaki puluhan kilometer ke tetangga desa. Selain getol menyerap ilmu agama, snack pengajian dibawanya pulang untuk mengganjal perut. Satu kardus snack bisa mengganjal lapar sampai tiga hari. Simbah pecandu kitab kuning. Aneka kitab klasik menjadi koleksi pribadinya. “Kalau ada yang ngasih sedekah, saya selalu tabung untuk beli kitab,” tutur Mbah Kemi. Simbah percaya, menuntut ilmu wajib bagi Muslim, “dari mbrojot (lahir) sampai mati, harus terus ngaji,” kata dia menyitir sebuah hadits.
Jadi, dalam kesahajaan hidup, tak ada kekhawatiran singgah di hati. Hari-harinya penuh kebahagiaan dan semangat mengaji yang meluap-luap. Urusan perut sama sekali bukan prioritas Mbah Kemi. Sepiring nasi pemberian Bu Carik, dimakannya sedikit demi sedikit berlauk sepotong gorengan. Nasi itu bertahan empat hari, dirubung lalat, lumer, dan bau asam menyengat. Tapi di lidah Simbah, rizki selalu nikmat. Dan dia tidak pernah sakit perut karenanya.
Di gubugnya yang sempit, Mbah Kemi mesti berbagi ruang dengan seorang pria jompo kurang waras yang tak jelas asal-usulnya. “Rumah”nya pun disekat bilik yang saban malam bilah-bilah bambunya kerap dilolosi Mbah Suhli, kakek majnun itu untuk membuat unggun, berdiang mengusir dingin. Selain si Kakek Majnun, Mbah Kemi mesti berbagi ruang dengan seekor ayam betina yang sedang mengeram dan dua ekor kambing jawa. “Dulu saya dikasih uang, tak tabung lalu dibelikan ayam dan marmut (sejenis hamster) sepasang. Marmutnya beranak 23 ekor, jantannya cuma satu. Cucunya tidak kehitung banyaknya, kalau saya jalan sampai harus menyingkirkan marmut-marmut itu dari lantai biar tidak terinjak,”celoteh Mbah Kemi.Marmut dan ayam lalu dijual, dibelikan dua ekor anak kambing. “Nanti kalau saya mati, kambingnya biar dipotong orang-orang buat mereka yang ngurusi jenasah saya,” Mbah Kemi mengutarakan niatnya. Tapi karena ditunggu tunggu maut tak kunjung menjemput, Simbah mengubah niat, “Kambingnya sudah besar, sebentar lagi Iedul Adha, jadi nanti dipotong buat kurban saja.” Sebenarnya Simbah ingin pergi haji, “Kalau tidak bisa ke Mekah, ya motong hewan kurban saja dulu.” Subhanallah!
Berkurban bukan hak eksklusif orang kaya saja, tetapi disunnahkan bagi muslim yang mampu.
Hadits Nabi, “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih kurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At-Tirmidzi).
Ternyata, tolok ukur kemampuan bukan hanya kelimpahan materi.
Source : (kisah nyata ini dimuat di Koran Tempo, 17 November 2009)
Image : Wasahati
patut kita contohi orang ini,artikelnya bermanfaat mas
BalasHapus